Selasa, 22 Januari 2013

KASUS 5 : Kasus Mulyana W Kusuma


            Kasus ini terjadi sekitar tahun 2004. Mulyana W Kusuma sebagai seorang anggota KPU diduga menyuap anggota BPK yang saat itu akan melakukan audit keuangan berkaitan dengan pengadaan logistic pemilu. Logistic untuk pemilu yang dimaksud yaitu kotak suara, surat suara, amplop suara, tinta, dan teknologi informasi. Setelah dilakukan pemeriksaan, badan dan BPK meminta dilakukan penyempurnaan laporan. Setelah dilakukan penyempurnaan laporan, BPK sepakat bahwa laporan tersebut lebih baik daripada sebelumnya, kecuali untuk teknologi informasi. Untuk itu, maka disepakati bahwa laporan akan diperiksa kembali satu bulan setelahnya.
            Setelah lewat satu bulan, ternyata laporan tersebut belum selesai dan disepakati pemberian waktu tambahan. Di saat inilah terdengar kabar penangkapan Mulyana W Kusuma. Mulyana ditangkap karena dituduh hendak melakukan penyuapan kepada anggota tim auditor BPK, yakni Salman Khairiansyah. Dalam penangkapan tersebut, tim intelijen KPK bekerja sama dengan auditor BPK. Menurut versi Khairiansyah ia bekerja sama dengan KPK memerangkap upaya penyuapan oleh saudara Mulyana dengan menggunakan alat perekam gambar pada dua kali pertemuan mereka. 
            Penangkapan ini menimbulkan pro dan kontra. Salah satu pihak berpendapat auditor yang bersangkutan, yakni Salman telah berjasa mengungkap kasus ini, sedangkan pihak lain berpendapat bahwa Salman tidak seharusnya melakukan perbuatan tersebut karena hal tersebut telah melanggar kode etik akuntan.
            Komentar : Hal yang dilakukan oleh Khairiansyah tidak dibenarkan karena melanggar kode etik akuntan. Seorang auditor telah melanggar prinsip objektivitas karena telah memihak kepada salah satu pihak dengan berpendapat adanya kecurangan. Lalu auditor juga melanggar prinsip kompetensi dan kehati-hatian profesional karena auditor tidak mampu mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional dalam melakukan audit keuangan terkait dengan pengadaan logistic pemilu.

KASUS 4 : Tentang Etika Profesi Akuntansi Akuntan Publik Petrus Mitra Winata Dibekukan


Kasus pelanggaran Standar Profesional Akuntan Publik kembali muncul. Menteri Keuangan pun memberi sanksi pembekuan.
            Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati membekukan izin Akuntan Publik (AP)Drs. Petrus Mitra Winata dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Drs. Mitra Winata dan Rekan selama dua tahun, terhitung sejak 15 Maret 2007.
            Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Keuangan Samsuar Said dalam siaran pers yang diterima Hukumonline, Selasa (27/3), menjelaskan sanksi pembekuan izin diberikan karena akuntan publik tersebut melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).
            Pelanggaran itu berkaitan dengan pelaksanaan audit atas Laporan Keuangan PT Muzatek Jaya tahun buku berakhir 31 Desember 2004 yang dilakukan oleh Petrus. Selain itu, Petrus juga telah melakukan pelanggaran atas pembatasan penugasan audit umum dengan melakukan audit umum atas laporan keuangan PT Muzatek Jaya, PT Luhur Artha Kencana dan Apartemen Nuansa Hijau sejak tahun buku 2001 sampai dengan 2004.
            Selama izinnya dibekukan, Petrus dilarang memberikan jasa atestasi termasuk audit umum, review, audit kinerja dan audit khusus. Yang bersangkutan juga dilarang menjadi pemimpin rekan atau pemimpin cabang KAP, namun dia tetap bertanggungjawab atas jasa-jasa yang telah diberikan, serta wajib memenuhi ketentuan mengikuti Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL).
            Pembekuan izin oleh Menkeu tersebut sesuai dengan Keputusan Menkeu Nomo 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menkeu Nomor 359/KMK.06/2003.
            Pembekuan izin yang dilakukan oleh Menkeu ini merupakan yang kesekian kalinya. Pada 4 Januari 2007, Menkeu membekukan izin Akuntan Publik (AP) Djoko Sutardjo dari Kantor Akuntan Publik Hertanto, Djoko, Ikah & Sutrisno selama 18 bulan. Djoko dinilai Menkeu telah melakukan pelanggaran atas pembatasan penugasan audit dengan hanya melakukan audit umum atas laporan keuangan PT Myoh
            Technology Tbk (MYOH). Penugasan ini dilakukan secara berturut-turut sejak tahun buku 2002 hingga 2005. Sebelumnya, di bulan November tahun lalu, Depkeu juga melakukan pembekuan izin terhadap Akuntan Publik Justinus Aditya Sidharta. Dalam kasus ini, Justinus terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap SPAP berkaitan dengan Laporan Audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT Great River International Tbk (Great River) tahun 2003.
            Kasus Great River sendiri mencuat ke publik seiring terjadinya gagal bayar obligasi yang diterbitkan perusahaan produsen pakaian tersebut. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) mengindikasikan terjadi praktik overstatement (pernyataan berlebihan) penyusunan laporan keuangan yang melibatkan auditor independen, yakni akuntan publik Justinus Aditya Sidharta.
Cukup satu saksi ahli
            Terhadap kasus Great River, saat ini Bapepam-LK sedang meminta penilaian independen dari saksi ahli untuk menuntaskan pemeriksaan kasus overstatement laporan keuangan emiten berkode saham GRIV itu.
            Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam-LK Wahyu Hidayat mengatakan akuntan publik akan dipanggil untuk memberikan penilaian terhadap kasus laporan keuangan Great River. "Penyidikan Great River masih pada tahap penyempurnaan, kami menyiapkan saksi ahli dari akuntan publik," tuturnya kepada pers, pekan lalu.
            Pemanggilan saksi ahli oleh penyidik Bapepam-LK ini dibenarkan oleh UU No 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Alasannya, dalam Pasal 101 ayat 3 h UU Pasar Modal disebutkan, penyidik Bapepam-LK berwenang meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang pasar modal.
            Pasca pengambilan keterangan akuntan publik, otoritas pasar modal segera menyusun berkas pemeriksaan overstatement laporan keuangan Great River yang akan dilimpahkan ke Kejaksaan. Berkas itu, kata Wahyu, akan dibuat terpisah dari berkas pemeriksaan direksi.
            Ditambahkan oleh Wahyu saksi ahli kasus Great River bisa diambil dari anggota Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) asalkan independen. Dalam waktu dekat ini, akuntan yang akan ditetapkan sebagai saksi ahli segera diumumkan oleh otoritas pasar modal itu. "Satu saksi ahli cukup. Bisa dari IAI atau siapapun, yang pasti independen. Kalau sudah cukup dengan saksi ahli itu,langsung kami berkas," sambungnya. (Sut)
Komentar:
            Seorang akuntan publik hendaklah memegang teguh Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). Dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) dapat terciptanya akuntan publik yang jujur, berkualitas dan dapat dipercaya. Dengan adanya kasus dibekukannya izin Drs. Mitra Winata dan Rekan dari Kantor Akuntan Publik (KAP) karena akuntan publik tersebut melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), dan kasus pelanggaran lainya seperti Djoko Sutardjo dari Kantor Akuntan Publik Hertanto, Djoko, Ikah & Sutrisno melakukan pelanggaran atas pembatasan penugasan audit dan pembekuan izin terhadap Akuntan Publik Justinus Aditya Sidharta yang terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap SPAP berkaitan dengan Laporan Audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi akan mencoreng nama baik dari akuntan publik dan hal ini akan sangat merugikan seperti hilangnya kepercaayaaan masyarakat.

KASUS 3 : Manipulasi Laporan Keuangan PT KAI

            Dalam kasus tersebut, terdeteksi adanya kecurangan dalam penyajian laporan keuangan. Ini merupakan suatu bentuk penipuan yang dapat menyesatkan investor dan stakeholder lainnya. Kasus ini juga berkaitan dengan masalah pelanggaran kode etik profesi akuntansi.
Diduga terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005, perusahaan BUMN itu dicatat meraih keutungan sebesar Rp, 6,9 Miliar. Padahal apabila diteliti dan dikaji lebih rinci, perusahaan seharusnya menderita kerugian sebesar Rp. 63 Miliar. Komisaris PT KAI Hekinus Manao yang juga sebagai Direktur Informasi dan Akuntansi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan mengatakan, laporan keuangan itu telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan. Audit terhadap laporan keuangan PT KAI untuk tahun 2003 dan tahun-tahun sebelumnya dilakukan oleh Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), untuk tahun 2004 diaudit oleh BPK dan akuntan publik.
            Hasil audit tersebut kemudian diserahkan direksi PT KAI untuk disetujui sebelum disampaikan dalam rapat umum pemegang saham, dan komisaris PT KAI yaitu Hekinus Manao menolak menyetujui laporan keuangan PT KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh akuntan publik. Setelah hasil audit diteliti dengan seksama, ditemukan adanya kejanggalan dari laporan keuangan PT KAI tahun 2005 :
            Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak pernah ditagih, tetapi dalam laporan keuangan itu dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI selama tahun 2005. Kewajiban PT KAI untuk membayar surat ketetapan pajak (SKP) pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003 disajikan dalam laporan keuangan sebagai piutang atau tagihan kepada beberapa pelanggan yang seharusnya menanggung beban pajak itu. Padahal berdasarkan Standart Akuntansi, pajak pihak ketiga yang tidak pernah ditagih itu tidak bisa dimasukkan sebagai aset. Di PT KAI ada kekeliruan direksi dalam mencatat penerimaan perusahaan selama tahun 2005.
            Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24 Miliar yang diketahui pada saat dilakukan inventarisasi tahun 2002 diakui manajemen PT KAI sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar Rp 6 Miliar, yang seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
            Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya dengan modal total nilai komulatif sebesar Rp 674,5 Miliar dan penyertaan modal negara sebesar Rp 70 Miliar oleh manajemen PT KAI disajikan dalam neraca per 31 Desember 2005 sebagai bagian dari hutang. Akan tetapi menurut Hekinus bantuan pemerintah dan penyertaan modal harus disajikan sebagai bagian dari modal perseroan.
            Manajemen PT KAI tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah dibebankan kepada pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan PT KAI tahun 1998 sampai 2003.
            Perbedaan pendapat terhadap laporan keuangan antara komisaris dan auditor akuntan publik terjadi karena PT KAI tidak memiliki tata kelola perusahaan yang baik. Ketiadaan tata kelola yang baik itu juga membuat komite audit (komisaris) PT KAI baru bisa dibuka akses terhadap laporan keuangan setelah diaudit akuntan publik. Akuntan publik yang telah mengaudit laporan keuangan PT KAI tahun 2005 segera diperiksa oleh Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik. Jika terbukti bersalah, akuntan publik itu diberi sanksi teguran atau pencabutan izin praktek. (Harian KOMPAS Tanggal 5 Agustus 2006 dan 8 Agustus 2006).
            Kasus PT KAI di atas menurut beberapa sumber yang saya dapat, berawal dari pembukuan yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Sebagai akuntan sudah selayaknya menguasai prinsip akuntansi berterima umum sebagai salah satu penerapan etika profesi. Kesalahan karena tidak menguasai prinsip akuntansi berterima umum bisa menyebabkan masalah yang sangat menyesatkan.
            Laporan Keuangan PT KAI tahun 2005 disinyalir telah dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu. Banyak terdapat kejanggalan dalam laporan keuangannya. Beberapa data disajikan tidak sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Hal ini mungkin sudah biasa terjadi dan masih bisa diperbaiki. Namun, yang menjadi permasalahan adalah pihak auditor menyatakan Laporan Keuangan itu wajar. Tidak ada penyimpangan dari standar akuntansi keuangan. Hal ini lah yang patut dipertanyakan.
            Dari informasi yang didapat, sejak tahun 2004 laporan PT KAI diaudit oleh Kantor Akuntan Publik. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang melibatkan BPK sebagai auditor perusahaan kereta api tersebut. Hal itu menimbulkan dugaan kalau Kantor Akuntan Publik yang mengaudit Laporan Keuangan PT KAI melakukan kesalahan.
            Profesi Akuntan menuntut profesionalisme, netralitas, dan kejujuran. Kepercayaan masyarakat terhadap kinerjanya tentu harus diapresiasi dengan baik oleh para akuntan. Etika profesi yang disepakati harus dijunjung tinggi. Hal itu penting karena ada keterkaitan kinerja akuntan dengan kepentingan dari berbagai pihak. Banyak pihak membutuhkan jasa akuntan. Pemerintah, kreditor, masyarakat perlu mengetahui kinerja suatu entitas guna mengetahui prospek ke depan. Yang Jelas segala bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh akuntan harus mendapat perhatian khusus. Tindakan tegas perlu dilakukan.
Sumber : Harian KOMPAS Tanggal 5 Agustus 2006 dan 8 Agustus 2006

ANALISIS:
            Dari kasus studi diatas tentang pelanggaran Etika dalam berbisnis itu merupakan suatu pelanggaran etika profesi perbankan pada PT KAI pada tahun tersebut yang terjadi karena kesalahan manipulasi dan terdapat penyimpangan pada laporan keuangan PT KAI tersebut. pada kasus ini juga terjadi penipuan yang menyesatkan banyak pihak seperti investor tersebut. seharusnya PT KAI harus bertindak profesional dan jujur sesuai pada asas-asas etika profesi akuntansi yang dijelaskan oleh tulisan blog saya sebelumnya.

KASUS 2 : kasus cek pelawat Nunun Nurbaeti

Nunun Nurbaeti menjadi tersangka atas kasus cek pelawat (kunjungan) dan juga kasus penyuapan yang memberikan dana kepada anggota DPR periode 1999-2004 terkait oleh pemilihan Gubernur senior BI tahun 2004. Nurbaeti telah melanggar prinsip etika profesi dimana tidak adanya profesionalisme dan tanggung jawab terhadap profesinya.
Prinsip tanggung jawab profesi ini mengandung makna bahwa akuntan sebagai pemberi jasa professional memiliki tanggung jawab kepada semua pemakai jasa mereka termasuk masyarakat dan juga pihak internal dan eksternal pihak yang terkait.
Analisa
            Profesi akuntan memegang peranan yang penting dimasyarakat, dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung pada obyektifitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan tanggung-jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Kepentingan Publik merupakan kepentingan masyarkat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan Negara.
            Seharusnya nunun nurbaeti memberkan suatu sikap atau contoh yang baik terhadap masyarakat luas karena masyarakat telah mempercayai beliau sebagai anggota dewan yang mempunyai dan melaksanakan tugas untuk kepentingan masyarakat.
            Dari hal tersebut Nunun nurbaeti yang berprofesi sebagai anggota DPR mempunyai peranan yang penting pada masyarakat luas. Banyak hal yang seharusnya nunun nurbaeti lakukan, misalnya saja menunjukan suatu komitmennya atas profesionalismenya kepada masyarakat dengan memperhatikan atau memberikan pelayanan kepada masyarakat, membahas pelaksanaan Undang-undang otonomi daerah, pengelolaan Sumber Daya Alam & Sumber Daya ekonomi, dan lainnya. Dan juga menjalankan kewajibannnya sebagai anggota, salah satu diantaranya yaitu memegang teguh dan mengamalkan pancasila, melaksanakan UUD Negara RI 1945 dan menaati peraturan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun akibat yang telah dilakukan oleh nunun nurbaeti pada kasusnya, yaitu merugikan masyarakat luas karena tidak menghormati kepercayaan masyarakat dan juga merugikan negara. Semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus – menerus menunjukan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi.
            Pada kasus nunun nurbaeti tersebut telah terbukti bahwa dia sebagai anggota dewan tidak dapat menghormati kepercayaan masyarkat sehingga tidak dapat mencapai suatu sikap profesionalisme. Dan beliau harus memenuhi tanggung jawabnya untuk menjaga kepercayaan publik dengan tetap melayani kepentingan masyarkat.

KASUS 1 : Fenomena Politik Suap Kepala Daerah dengan Masalah dan Solusinya


Praktik suap menyuap di Indonesia sudah menjadi kebiasaan yang lumrah. Khususnya dalam institusi pelayanan yang berkaitan dengan publik. Memberikan uang atau barang dalam rangka mempercepat proses yang berkaitan dengan birokrasi. Pemberian itu sebagai tanda agar dipercepat urusannya tanpa melalui mekanisme yang berlaku.
            Terlalu lumrahnya praktik kotor ini, Deputi Bidang Informasi dan Data KPK DR M Syamsya Ardisasmita DEA menyebutkan, Transparency International, sebuah organisasi non-pemerintah yang giat mendorong pemberantasan korupsi, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling korup di dunia. Berdasarkan hasil surveynya, Indonesia nilai Indeks Persepsi Korupsinya (IPK) pada tahun 2005 adalah 2,2 (nilai nol sangat korup dan nilai 10 sangat bersih.
            Indonesia jatuh pada urutan ke-137 dari 159 negara yang disurvei. IPK ini merupakan hasil survei tahunan yang mencerminkan persepsi masyarakat internasional maupun nasional (mayoritas pengusaha) terhadap tingkat korupsi di suatu negara.
            Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan Survey Nasional Korupsi yang dilakukan oleh Partnership for Governance reform yang dikutip Demartoto (2007). Hampir setengahnya atau 48 persen dari jumlah pejabat yang ada di Indonesia pernah menerima pembayaran tidak resmi alias suap.
            Baru-baru ini, contoh pejabat publik yang terjerat kasus suap adalah Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad. Pada Oktober 2011 lalu, Wali Kota Bekasi Moctar Muhammad sujud syukur setelah Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung memvonis bebas. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, Mahkamah Agung (MA) menganulir keputusan bebas Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pindana Korupsi (7/3/2012). MA berdalih bahwa politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu terbukti menyuap dan menerima suap.
            MA menjelaskan, Mochtar terbukti melakukan penyuapan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Jawa Barat. Modusnya, ia meminta pimpinan satuan kerja di Pemerintah Kota Bekasi untuk menyisihkan dua persen uang proyek sampai terkumpul Rp 4,5 miliar. Atas perintah Mochtar, Rp 4 miliar itu diberikan kepada anggota DPRD Jawa Barat agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Bekasi segera disetujui.
            Kasus serupa menimpa Soemarmo, wali kota Semarang. Pria yang juga diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menjadi tersangka dalam kasus suap pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan 2012.
            Pria yang sebelumnya berkarir sebagai sekretaris daerah ini telah ditahan di Rumah Tahanan Kelas I Cipinang selama 20 hari Sejak 30 Maret lalu. Kasusnya teruangkap setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap 2 Anggota DPRD Sumartono dan Agung Pumo Sarjono serta Sekda Akhmat Zaenuri pada Oktober 2011 lalu. Ketiganya telah ditahan lebih dulu.
Suap Pengertian dan Faktor Penyebabnya Pertama kalinya mulai dikenal dengan kata suap menyuap yang sering dilakukan secara bersama-sama dengan penggelapan dana-dana publik sering disebut sebagai inti dari tindak pidana korupsi.
            Korupsi adalah perilaku pejabat baik politisi maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari sisi sudut pandang hukum, unsur-unsur yang mencakup tindak pidana korupsi adalah perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana prasana, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. dalam tindak pidana korupsi memberi atau menerima hadiah atau janji penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan.
Dampak Suap-Menyuap
            Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bila suap-menyuap tidak diberantas, maka kepercayaan masyakarat terhadap pemerintah akan berkurang. Sehingga mereka akan melakukan caranya sendiri-sendiri dalam menyelesaikan setiap masalah terutama yang berurusan dengan hukum.
            Selain itu, suap menyuap juga menjadikan biaya operasional pemerintahan menjadi membengkak. Anggaran yang seharusnya diprioritaskan untuk kesejahteraan masyarakat, malah masuk ke kantong-kantong pribadi pejabat, atau memperkaya diri.
            Solusi memberikan saran untuk pembasmian korupsi sebagai berikut: Pertama, adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh. Kedua, menanamkan aspirasi nasional yang positif yang mengutakan kepentingan bangsa. Ketiga, para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.

Analisis :
            Suap menyuap merupakan tindakan menyalahgunakan kekuasaan dalam rangka tujuan pribadi atau kelompoknya dalam rangka mempercepat proses birokrasi. Tindakan ini tidak dibenarkan karena bisa merugikan negara. Disamping itu, bisa menghambat pembangunan. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat jadi beralih untuk kepentingan sendiri atau kelompok.
            Untuk itu, cara penanggulangannya adalah dengan supremasi hukum. Artinya, institusi penegak hukum harus bertindak terhadap para penyelenggara pemerintahan bila mana ada yang melakukan suap menyuap. Keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Di samping itu, peran serta masyarakat dalam membasmi penyakit ini sangat dibutuhkan.